Sabtu, 05 November 2011

Newmont, Petaka Penghasil Konflik Berkepanjangan 

Pemberdayaan Atau Pemberangusan?

Sejak eksplorasi hingga eksploitasi dan menjelang penutupan tambang, PT. Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) terus dianggap sebagai “petakan penghasil konplik berkepanjangan”. Mulai dari rekrutmen tenaga kerja, sistem penerapan jam kerja, sistem perusahaan yang menghancurkan nilai budaya lokal, penjualan saham kepada pemerintah daerah, hingga PHK karyawan-karyawan sesuai “selera” para atasan.
Perusahaan asal Paman Sam yang beroperasi di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), semula diharapkan akan membawa berkah bagi masyarakat setempat. Kenyataannya, berkah yang diharapkan justru masyarakat lebih banyak hanya menjadi penonton yang “membayar tiket” di daerahnya sendiri.
Betapa tidak, kasus warga Tongo yang “dipaksa” diusir dari peradabannya sebagai penghasil gula aren pada masa eksplorasi digusur dan dilokalisir di wilayah Sejorong. Peralatan warga seperti wajan untuk memasak gula aren serta pohon-pohon enau dibabat dengan menggunakan alat berat.
Alasannya, pihak perusahaan melakukan semua itu sudah sesuai prosedur dan memberikan janji akan memberikan kesejahteraan serta pekerjaan yang layak bagi warga yang tergusur. Luluhlah hati warga saat itu dengan janji-janji akan mendapat “berkah emas” dari perusahaan yang tergolong sebagai perusahaan high class di dunia.
Kenyataannya, janji tersebut banyak diingkari, janji mempekerjakan warga lokal ternyata ditepis dengan alasan “skill”. Warga dininakbobokan dengan diberikan pekerjaan serabutan sebagai penarik kabel dan pembersih jalan. Namun tidak dipungkiri, dari beberapa warga pun merasakan “emas” yang dihasilkan oleh PT. NNT yang tentunya dengan syarat-syarat harus mau menjadi “abdi dalem” perusahaan.
Salah satu contoh nyata, M. Jabir, yang kini menjabat sebagai Kepala Desa Tongo semua orang tahu bahwa semasa dulunya adalah pemimpin aksi bersama-sama dengan Ibu Halimah (Benete)—kini menjadi sub kontraktor di PT. NNT.
Muhammad Jabir, terakhir melakukan aksi testimoni di Menado tentang limbah tailing. Begitu juga Ibu Halimah Hamzah, terakhir melakukan aksi di Nusa Dua Bali pada acara Frepcoom tahun 2004 dengan testimoni masalah kehidupan masyarakat yang tergusur.
Seiring dengan berjalannya waktu, aksi-aksi merekapun bisa diluluhkan dengan pemberian pekerjaan yang layak.
Apakah salah apa yang dikerjakan Muhammad Jabir dan Ibu Halimah Hamzah? Seharusnya, sejak awal pihak perusahaan sudah mampu mengantisipasi yang akan terjadi dengan tidak menimbulkan konflik dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar