Kamis, 03 November 2011

REALITAS PERBURUHAN
 
 
Hari ini ( 1 Mei ), adalah hari yang penting untuk kaum buruh karena pada hari ini seluruh buruh memperingati hari buruh sedunia. Bila melihat konteks ke Indonesiaan atau bahkan Sumatera Barat dengan memanfaatkan peringatan hari buruh ini, banyak masalah perburuhan yang menjadi perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat.
Buruh adalah salah satu bagian dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya roda perekonomian bangsa. Namun untuk dianggap penting dan strategis, buruh kita sendiri tidak atau belum siap untuk itu. Pada sisi lain pemerasan terhadap buruh terus berlangsung. Sadar atau tidak disadari hak-hak buruh belum sepenuhnya diperhatikan.
Buruh, siapa itu buruh? Buruh identik dengan pekerjaan kasar. Kesan itu tidak sepenuhnya betul, banyak buruh yang tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka itu bagian dari buruh karena pekerjaan mereka tidak kasar (konteks Sumbar). Buruh adalah setiap orang yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan prestasi (upah) darinya. Kalau demikian halnya, cakupan buruh atau yang disebut dengan buruh sangat luas. Buruh sesungguhnya adalah keluarga yang paling besar di republic ini. Namun keluarga yang besar ini tampak dikecilkan dan keluarga besar ini tidak dapat berbuat banyak akan hal itu.
Pergerakan buruh tidak begitu popular pada kehidupan berbangsa ini. Jika memperhatikan pergerakan buruh di Negara-negara maju yang membangun perekonomiannya dengan perindustrian, maka buruh Indonesia sepantasnya iri dengan nasib yang lebih baik pada buruh di Negara-negara maju tersebut. Pada Negara-negara maju itu, buruh merupakan kekuatan yang besar, bisa menentukan arah perekonomian dan arah kebijakan politik. Buruh “terpaksa” dihormati dan dihargai oleh majikan maupun oleh Negara, sehingga dalam segala perjanjian antara buruh dan majikan maupun perjanjian antara buruh dan majikan yang melibatkan Negara, kaum buruh mempunyai posisi yang berimbang (dalam hal tawar-menawar) dengan kedua pihak tersebut.
Secara konteks ke-Indonesiaan, kenyataan bahwa buruh mempunyai posisi “kelas dua” dibawah para majikan. Dengan demikian, buruh hanya dijadikan objek oleh majikan maupun oleh Negara. Posisi buruh tidaklah sebagai subjek akibatnya buruh hanya bisa pasrah dengan kemauan majikan walaupun hak-hak buruh yang seharusnya mereka miliki ditiadakan.
Pada hal hak-hak buruh dijamin oleh konstitusi Negara ini. Pasal 27 ayat (2) UUD tahun 1945 menyatakan bahwa “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Mari kita pelajari bunyi pasal dan ayat itu. Ada dua poin penting yang dicatat disana :
Pertama, hak atas pekerjaan yang layak. Sudah semestinya seorang buruh mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. Lebih jauh lagi, hak atas pekerjaan yang layak ini mencerminkan bahwa buruh bukan barang perasan, buruh bukan robot yang paksakan untuk bekerja hingga diluar batas kemampuan seorang manusia. Misalnya dalam masalah waktu bekerja, telah diberi batas yang menjadi standar kemampuan manusia yaitu buruh hanya berkerja selama delapan jam sehari.
Kedua, hak atas penghidupan yang layak. Ini adalah cerminan untuk kesejahteraan seorang buruh. Hak atas penghidupan yang layak juga berkaitan dengan kebutuhan hidup satu orang manusia atau satu keluarga buruh. Kesejahteraan buruh berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan upah yang diterimanya. Misalnya, pada local Sumatera Barat telah ditetapkan Upah Minimum Regional (UMR) Sumbar adalah sebesar Rp. 725.000,-. Apakah buruh Sumatera Barat telah mendapatkan haknya itu? Buruh juga berhak mendapatkan jatah libur satu hari dalam satu minggu, juga buruh wanita mempunyai hak untuk mendapatkan “cuti haid” dan banyak lagi hak-hak yang lainnya.
Pasal 27 ayat (2) di atas, kemudian dipertegas lagi dengan dibentuk dan dikeluarkannya Undang-Undang tentang Perburuhan dan Tenaga Kerja (UU No. 13 Tahun 2003). Secara garis besar tujuan dari pembentukkan UU ini adalah berusaha untuk mengayomi, memanusiakan dan memberi keadilan pada buruh.
Namun disinilah letak dilemma hokum perburuhan dan tenaga kerja di Indonesia. Jumhur Hidayat menyatakan bahwa hokum kita bagus pada konsep tapi tidak bagus pada pelaksanaannya. Pernyataan Jumhur Hidayat ini mempunyai relevansi dengan hokum perburuhan dan tenaga kerja yang telah ada. Sudah sejauh manakah hokum perburuhan dan tenaga kerja mengayomi, memanusiakan dan memberi keadilan pada buruh? Negara memang sulit untuk mengatur dan mengintervensi perburuhan ini karena dasar dari hokum perburuhan adalah hokum privat yaitu hokum yang mengatur hubungan antara satu warga masyarakat dengan warga masyarakat lainnya. Bentuk dari pengaturan dan intervensi dari pemerintah ini hanya terlihat dalam pembentukkan UU Perburuhan dan Tenaga Kerja dan sebagai penyelesai sengketa pada tingkat pengadilan.
Pada satu sisi buruh adalah bawahan dari majikan, mereka takut untuk membela diri demi haknya karena takut kehilangan pekerjaannya. Hal itu diperparah lagi dengan miskinnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada kebanyakan buruh. Jika kita berpijak di alam nyata, jarang ada buruh yang cerdik seperti kecerdikan majikannya atau bahkan melebihi kecerdikan majikannya, yang ada kecerdikan buruh itu berada di bawah kecerdikan majikan.
Walaupun Negara berusaha mengintervensi perburuhan dengan memuat hak-hak buruh dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap saja hak-hak buruh yang berimplikasi pada terangkatnya harkat serta martabat buruh tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sekali lagi, adanya regulasi tentang perburuhan dan tenaga kerja hanya bagus pada konsep tetapi tidak nampak pada pelaksanaannya. Negara seidealnya lebih banyak ikut terlibat agar segala regulasi yang dibuatnya dapat berjalan sebagaimana mestinya (dengan semangat otonomi daerah sudah kewajiban pula pemerintahan daerah mengatur masalah perburuhan ini).
Bagaimana seidealnya memecahkan segala masalah yang sedikit banyak telah disebut di atas? Pertama, niat baik dari majikan untuk lebih memperhatikan hak-hak buruhnya. Niat baik ini kadang terhapus dengan melihat peluang yang dapat memperkaya dirinya (motif ekonomi). Kedua, peningkatan SDM buruh hingga mampu mengadvokasi dan menuntut hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Ketiga, regulasi perburuhan harus disosialisasikan kepada buruh dan majikan oleh pemerintah, LSM, dan pers.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar